Syekh Abdul Kholiq Al Hamid (Jiwo Suto)
Syekh Abdul Kholiq Al Hamid (Jiwo Suto) adalah putra dari pasangan Yasmin dan Suminah namun karena kemashuran, ketokohan sang kakek maka nama Syekh Abdul Hamid lebih melekat pada dirinya dari pada nama Yasmin ayahandanya, sehingga beliau oleh masyarakat Ujungpangkah dipanggil Syekh Abdul Hamid atau dijuluki Jiwo Suto.
Waliyullah yang lahir dan dibesarkan di Ujungpangkah ini diperkirakan hidup antara tahun 1792-1861 atau abad 18-19 Masehi. Kesimpulan sementar aini diambil karena riwayat hidup beliau yang sejaman atau satu generasi dengan Adipati Suryoadiningrat (Kanjeng Sepuh) Bupati Gresik di SIdayu yang hidup pada tahun 1817-1858 M.
Sejarah singkat perjalanan hidup Syekh Abdul Kholiq Al Hamid (Jiwo Suto).
Jiwa pengelana sudah terlihat sejak kecil pada diri beliau, terbukti dalam usianya yang relative muda Abdul Kholiq Al Hamid sudah gemar berkelana dengan dibimbing oleh eyangnya bernama Syekh Abdul Hamid secara batin. Sebagaimana kebiasaan pengelana pada umumnya Abdul Kholiq Al Hamid tidak makan dan minum selama berkelana. Hal ini dimungkinkan sebagai upaya mensucikan batin, namun karena karomah yang dimilikinya, maka bila sewaktu-waktu beliau dahaga, maka cukup baginya membaca bismillah, maka rasa haus tak lagi dirasakannya.
Dalam pengembaraannya Abdul Kholiq Al Hamid tak lupa mengunjungi para wali yang lebih tua darinya dengan maksud untuk berguru dan meimba ilmu padanya, nama-nama waliyullah yang pernah dikinjunginya antara lain:
- Syekh Abdur Rosyid atau Mbah Sridi, pesareannya berada di Dusun Koang (Kebondalem Desa Kebonagung). Karena merasa lebih muda usianya Abdul Kholiq Al Hamid memanggil Syekh Abdur Rosyid dengan sapaan Kakang/Kang, maka dari sapaan itu, kini dusun tersebut dikenal dengan nama dusun Koang.
- Syekh Abdur Rohman (Mbah Panglen), pesareannya kini lebih dikenal dengan nama makam Panglen di Dusun Koang Kebondalem Kebonagung. Setelah dirasa cukup berguru dan menimba ilmu pada keduanya, maka Abdul Kholiq Al Hamid berpamitan untuk meneruskan pengembaraannya, namun sebelum berpisah Abdul Kholiq Al Hamid member gelar kepada Syekh Abdur Rohman dengan sapaan Mbah Panglen sebab dalam kesehariannya Syekh Abdur Rohman sebagai penjual barang-barang panglen (barang-barang kelontong).
Setelah berpamitan pada keduanya, Abdul Kholiq Al Hamid meneruskan pengembaraannya. Dalam pengembaraanya selama Sembilan tahun dan baru pada usia 23 tahun beliau menikah dengan gadis pilihannya bernama Siti Rohmah, gadis asal Dusun Siraman Dukun. Gadis bernama Siti Rohmah ini adalah anak seorang janda bernama Mukholidah. Alas an pernikahan beliau dengan Siti Rohmah adalah sebagai upaya proses isalamisasi (penyebaran Islam) di wilayah Dukun saat itu.
Setelah menikah, beliau melanjutkan pengembaraannya. Kali ini tidak berlangsung lama, hanya satu tahun, sebab secara kebetulan ketika beliau singgah di Kuncen Sidayu beliau bertemu Adipati Surya Adiningrat (Kanjeng Sepuh) yang tak lain adalah Bupati Gresik ke-8 Sidayu. Beliau menetap sebagai guru dan penasehat di bidang keagamaan di Kesepuhan Sidayu selama hamper 2 tahun. Dalam pengabdian tersebut terjadi peristiwa maha penting dalam babak sejarah perjalanan hidup Abdul Kholiq Al Hamid yaitu peristiwa adu banteng dengan manusia yang akhirnya menyatukan desa Pangkah dengan Sidayu dalam satu kesaman cerita rakyat (volk loor).
Adapun adu banteng dengan manusia di alon-alon kota Surakarta (Solo) dituturkan oleh Shohibul Hikayat sebagai berikut:
“Kanjeng Sepuh pada masa pemerintahan selalau berseberangan dengan kebijakan Kasunanan Solo (Raden Sayyid Abdur Rohman – yang juga ayahandanya sendiri), Kanjeng Sepuh sering dianggap kontoversial dan sangat membenci kehadiran Belanda di Jawa.
“Kanjeng Sepuh pada masa pemerintahan selalau berseberangan dengan kebijakan Kasunanan Solo (Raden Sayyid Abdur Rohman – yang juga ayahandanya sendiri), Kanjeng Sepuh sering dianggap kontoversial dan sangat membenci kehadiran Belanda di Jawa.
Karena Kanjeng Sepuh dianggap tidak se ide dan selalu menentang kebijakan pusat, maka sebagai hukumannya Kanjeng Sepuh diundag ke Solo untuk diadu dengan seekor banteng. Mendengar panggilan tersebut, Kanjeng Sepuh tampak susah, lesu dan bingung, dalam kebingungan tersebut Kanjeng Sepuh meminta bantuan kepada sang guru (Jiwo Suto) untuk membantunya.
Melihat sang murid dalam masalah, maka Jiwo Suto bertanya kepada Kanjeng Sepuh, “Apa yang sedang terjadi, sehingga Kanjeng tampak gelisah?”. Kanjeng Speuh menjawab, “Siapa yang tidak susah, sebentar lagi aku akan diadu dengan seekor banteng”. Jiwo Suto balik menjawab, Mengapa Kanjeng mesti susah, saya siap menggantikan jika menghendaki”.
Mendengar jawaban Jiwo Suto, Kanjeng Sepuh terdiam dan berfikir kemudian bertanya, “Apa hal itu boleh dilakukan?” Jiwo Suti kembali meyakinkan kepada Kanjeng Sepuh, “Kanjeng, marilah kita berganti baju, dengan demikian wajah kita pun akan berubah” (mungkin inilah yang disebut ilmu maleh rupo).
Dengan karomah dan kekuasaan Allah SWT, wajah keduanya berubah setelah berganti baju, maka berangkatlah keduanya dan berganti posisi, dimana Kanjeng Sepuh menjadi kusir dan Jiwo Suto duduk di belakang. Singkat cerita, sampailah kedua di lapangan Solo, di situ sudah berkumpul beribu massa untuk menyaksikan adu banteng ini.
Jiwo Suto (yang sudah berganti wajah Kanjeng Sepuh) turun dari kereta dan langsung menuju lapangan. Bantengpun dilepas dan terjadilah pertarungan sengit, karena pertarungan berlangsung lama, maka Jiwo Suto minta ijin kepada Susuhunan Solo untuk membunuh banteng tersebut. Setelah mendapat ijin, maka kepala banteng itu langdung dipukul dan ihancurkan berkeping-keping.
Setelah perarungan berakhir, maka kembalilah keduanya ke SIdayu. Mengingat jasa Jiwo Suto yang begitu besar kepada beliau, maka Kanjeng Speuh member hadiah kepada Abdul Kholiq Al Hamid untuk mengjadi penghulu (naib) selama tjuh turunan di Ujungpangkah.
Setelah Kanjeng Sepuh wafat tahun 1858 M, maka Abdul Kholiq Al Hamid pun kembali ke Siraman Dukun untuk menemui istrinya. Karena beliau tidak mempunyai keturunan yang hidup, maka beliau mengadopsi keponakannya bernama Jaziroh sebagai anak angkatnya. Hamper 5 tahun Jaziroh diasuhnya, namun dia akhirnya memilih tinggal dan kembali kepada orang tuanya.
Tak lama kemudian, istri beliau wafat dan selang beberapa tahun beliaupun menyusulnya dan dikebumikan di Siraman Dukun.
Selama hamper 25 tahun Abdul Kholiq Al Hamid disemayamkan di Siraman Dukun dalam perkembangannya di Siraman terjadi malapetaka (Pagebluk), dimana penduduk desa terjangkit macam-macam penyakit sehingga banyak yang meninggal. Akhirnya dalam suatu malam salah satu sesepuh desa tersebut mendapat petunjuk Allah SWT/nglamat, bahwa pagebluk yang menimpa penduduk Siraman ini akan berakhir bila jenazah Abdul Kholiq Al Hamid dipindah ke tanah kelahirannya di Pangkah.
Berdasarkan petunjuk Allah tersebut, maka jenasah beliau digali dan dipindah ke Pangkah dan keanehan terjadi manakala jasad yang terbaring selama 25 tahun tersebut ketika diangkat tetap utuh dan tidak rusak sama sekali. Atas keagungan, kebesaran Allah dan keanehan tersebut maka Abdul Kholiq Al Hamid mendapat julukan Jiwo Suto. Jiwo berarti jiwa, Suto berarti utuh, suci, sempurna. Dan sejak itu hingga kini nama Abdul Kholiq Al Hamid lebih dikenal dengan nama Jiwo Suto. Pesareannya berada di belakang Masjid Jami’ Ainul Yaqin Ujungpangkah.
Jiwosuto Putra Sunan Bonang Tuban
BalasHapusJIWOSUTO, 25 TAHUN DIKUBUR JASADNYA MINTA DIPINDAH
Oleh: Masnukhan
(Tenaga Edukatif SMPN 1 Ujungpangkah Gresik)
Jiwosuto adalah salah seorang tokoh legendaris Ujungpangkah. Setiap orang Ujungpangkah mengenal ketokohannya. Beliau seorang ulama yang memiliki ilmu kedigdayaan tingkat tinggi. Namanya tidak hanya dikenal oleh masyarakan Ujungpangkah dan sekitarnya. Hampir di setiap perguruan kanuragan di tanah Jawa ini selalu menjadikannya sebagai sosok guru atau pendekar kanuragan pujaan. Kebesaran nama Jiwosuto bagi masyarakat Ujungpangkah ditularkan secara lisan atau dari mulut ke mulut dari para sesepuh Ujungpangkah hingga saat ini..
Nama asli Jiwosuto adalah Syeh Abdul Hamid. Nama itu diterima dari para leluhur Ujungpangkah. Tentang asal usul Jiwosuto belum banyak diketahui masyarakat Ujungpangkah karena selama ini belum ada referensi tertulis yang dijadikan pijakan.
Lewat tulisan ini, penulis ingin menyampaikan sekilas riwayat Jiwosuto berdasarkan referensi tertulis.yaitu buku Primbon Sunan Bonang. Buku primbon itu sampai sekarang diwarisi dan dipegang oleh keturunan keempat belas Sunan Bonang yang berada di Ujungpangkah Buku itu tulisan tangan Sunan Bonang. Kiyai Muridin, keturunan kelima Sunan Bonang atau keturunan keempar Jayeng Katon menambahkan sejarah asal usul Ujungpangkah dalam buku primbon tersebut.
Menurut Muridin nama panggilan awal Jiwosuto adalah Jayeng Katon. Dipanggil demikian, karena beliau mempunyai ilmu halimunan atau ilmu menghilang. Kadang beliau terlihat kadang tidak terlihat. Kata katon dari bahasa Jawa yang berarti kelihatan.
Jayeng Katon adalah putra Sunan Bonang. Beliau datang ke wilayah Ujungpangkah untuk menyebarkan agama Islam. Beliau ditemani oleh putra pertamanya yang bernama Pendil Wesi dan seorang santri Sunan Bonang. Pendel Wesi putra Jayeng Katon dengan Nyai Jika, nama panggilan istri Jayeng Katon. Ketika itu Pendel Wesi masih kecil sedang Nyai Jika masih pergi melaksanakan ibadah haji. Jayeng Katon membawa kuda kesayangannya yang dipanggil Sembrani atau kuda Sembrani.
Di wilayah Ujungpangkah, mula-mula ketiga pengembara itu tinggal di Koang desa Kebunagung Ujungpangkah. Di tempat itu Jayeng Katon mendirikan pondok sebagai sarana berdakwah mengajarkan Islam kepada penduduk Di pondoknya dilengkapi dengan sebuah sumur sebagai tempat untuk berwudlu dan mandi santri-santrinya. Di sisi sumur itu ditanami pohon beringin untuk tanda untuk mempermudah bila ada tamu yang mencarinya.
BalasHapusTak seberapa lama adiknya yang dipanggil Jayeng Rono datang menyusulnya. Jayeng Rono ditugasi Sunan Bonang untuk menemani kakaknya berdakwah karena Pendel Wesi putranya masih kecil. Jayeng Katon bertemu kakaknya di pondoknya di Koang. Tempat bertemu Jayeng Rono dengan Jayeng Katon itu diabadikan sebagai nama tempat yaitu Koang. Koang dari panggilan kakang atau koang (bahasa Jawa, panggilan dari jauh).
Kedua putra Sunan Bonang itu tidak lama berdakwah di Koang dan sekitarnya. Keduanya akhirnya berpindah ke Ujungpangkah. Pondok yang ditinggalkan itu kelak diteruskan oleh putra Jayeng Rono yang bernama panggilan Sridi. Sridi mengasuh pondok itu sampai akhir hayatnya. Sridi dimakamkan tidak jauh dari pondok peninggalan Jayeng Katon. Bahkan namanya menjadi nama lomplek pemakaman itu yaitu Makam Sridi Koang.
Kedatangan ketiga keturunan Sunan Bonang di Ujungpangkah itu ditandai dengan penanaman tiga pohon asem. Asem Resik atau Semersik berada di pertigaan jalan Sitarda, Asem Growok atau Semgrowok berada jalan Jiwosuto dan Asem Angker atau Semangker. Asem Angker letaknya sekitar empat puluh meter ke utara letak Asem Growok dan sekarang berada di wilayah kampung Bauman Barat.
Di Ujungpangkah Jayeng Katon, Jayeng Rono, Pendel Wesi, dan seorang santri Sunan Bonang itu mendirikan rumah sekaligus sebagai pondok pesantren di tepi pantai Ujungpangkah. Pondok itu berada sekitar tiga puluh meter dari bibir pantai pulau Jawa. Di pondok itu, Jayeng Katon membuat sumur senggot dan beji atau jublangan yang digunakan sebagai tempat berwudlu dan mandi para santrinya. Di sisi sumur senggot terdapat watu gilang.
Keberadaan pondok Jayeng Katon mendapat sambutan dari penduduk Ujungpangkah dan sekitarnya. Banyak santri yang datang berguru ilmu agama maupun ilmu kanuragan kepada Jayeng Katon. Bahkan putra bangsawan dari Tuban datang berguru kepadanya misalnya Ronggo Janur, Ronggo Seto, dan Ronggo Lawe.
Kabar keberhasilan Jayeng Katon dalam pengembangan Islam di wilayah Ujungpangkah sampai juga ke Sunan Bonang ayahandanya di Tuban. Karena pondok Jayeng Katon belum mempunyai masjid yang dapat menampung penduduk bila melaksanakan salat Jumat, Sunan Bonang mengutus seorang santrinya mengirimkan kayu-kayu jati gelondongan untuk bahan pembangunan masjid di pondok putranya. Kayu-kayu itu dilarung ke laut. Kayu-kayu itu akan berhenti sendiri di tempat yang dituju. Kayu-kayu itu dikawal seorang santri Sunan Bonang yang dikenal dengan nama panggilan Maskiriman.
Kayu-kayu yang diikat dengan tali lingir dari tematan yang dikawal Maskiriman itu berhenti di pantai Ujungpangkah. Sebagaimana pesan Sunan Bonang kayu-kayu itu harus dijadikan sebuah masjid di tempat kayu-kayu itu berhenti. Tempat berhentinya kayu itu kini dinamai kampung Kramat karena tempat itu dianggap sebagai tempat yang kramat. Tempat berhentinya kayu-kayu itu tepat di sebelah utara pondok Jayeng Katon.
BalasHapusJayeng Katon bersama kelima putranya, para santrinya dan penduduk Ujungpangkah santri itu membangun masjid. Masjid itu semuanya terbuat dari bahan kayu jati. Masjid itu beratap susun tiga. Atap susun yang paling atas semuanya terbuat dari kayu, termasuk gentingnya. Kayu penyangga atap susun ketika itu diikat dengan tali lingir. Masjid itu berukuran 12 m x 12 m dengan empat tiang sokoguru, dan 32 pilar. Di tengah-tengah masjid terdapat tangga untuk ke atas menara. Masjid itu dilengkapi dengan mimbar yang mempunyai sandi sengkala naga kale warni tunggal yang menunjukkan tahun 1428 saka/ 1506 masehi/ 911 hijriah).Masjid itu dinamai masjid Jamik artinya masjid untuk berjamaah Jumat. Masjid itu berpagar tembok keliling dengan satu pintu gapura. Pintu itu bentuknya mirip dengan pintu gapura memasuki kompleks pemakaman Sunan Bonang. Di pintu masuk terdapat batu hitam berukuran 1,5 m x 0,30 m x 0,15 m. Batu itu sejenis dengan batu yang digunakan untuk membangun Kakbah di Mekkah. Batu itu dibawa oleh Nyai Jika sepulang dari menunaikan ibadah haji. Batu hitam itu disandingi dengan batu berbentuk keris. Batu itu merupakan replika keris Aji Saka. Sejak tahun 1975, masjid itu dinamai Masjid Jamik Ainul Yaqin Ujungpangkah.
Di timur Masjid terdapat alun-alun yang ditanami lima pohon beringin. Lima pohon beringin itu sebagai tempat berteduh atau bernaung. Berjumlah lima melambangkan lima rukun Islam. Lima pohon beringin mengisyaratkan lima putra Jayeng Katon yang siap membawa masyarakat Ujungpangkah di bawah perlindungan ajaran Allah yakni agama Islam. Kelima putra Jayeng Katon sebagai penerus perjuangan adalah Pendel Wesi, Jaka Karang Wesi, Jaka Berek Sawonggaling, Jaka Sekintel alias Cinde Amo, dan Jaka Slining alias Jaka Tingkir.
Kelima putra Jayeng Katon mengikuti jejak abahnya dalam mengembangkan Islam. Mereka juga mendirikan pondok sebagai sarananya. Pendek Wesi mendirikan pondok Bekuto di Bekuto Ujungpangkah, Jaka Karang Wesi mendirikan pondok Rebuyut di Rebuyut Ujungpangkah, Cinde Amo mendirikan pondok Unusan di Unusan Ujungpangkah, dan Jaka Slining mendirikan pondok Sabilan di Sabilan Ujungpangkah. Hanya Jaka Berek Sawonggaling yang tidak mendirikan pondok baru karena ia mengasuh pondok Pangkah menggantikan Jayeng Katon.
Suatu hari Jayeng Katon kedatangan tamu seorang bupati Sidayu yang bernama Kanjeng Sepuh. Sebenarnya kedatangan Kanjeng Sepuh ini bukan yang pertama melainkan sudah kali ketiga. Yang pertama beliau datang untuk meminta tolong kepada Jayeng Katon untuk merawatkan kuda, kali kedua beliau meminta tolong untuk menanamkan pohon asem di sepanjang jalan Sidayu. Kedatangan beliau kali ketiga ini juga untuk meminta bantuan. Kali ini beliau hadir dengan membawa persoalan yang berat. Betapa tidak, beliau meminta kepada Jayeng Katon untuk menghadapi seekor banteng. Kanjeng Sepuh menerima sayembara dari atasannya bahwa bupati yang bisa mengalahkan banteng akan dinaikkan pangkatnya dan diperluas wilayah kekuasaannya.
Jayeng Katon alias Jiwosuto berpikir dengan tenang dan diam beberapa saat sebelum memberikan jawaban terhadap permintaan itu. Dengan nada rendah Jayeng Katon akan berusaha membantunya. Berbunga-bunga hati Kanjeng Sepuh mendengar jawaban yang keluar dari mulut orang yang sangat dikagumi itu.
BalasHapusPada saat yang telah ditentukan Kanjeng Sepuh, Jayeng Katon dan rombongan dari pejabat kabupaten Sidayu berangkat menuju alun-alun Tuban untuk menghadiri sayembara itu. Sebelum berangkat Jayeng Katon meminta kepada Kanjeng Sepuh untuk bertukar baju dengan baju dengan Jayeng Katon. Setelah bertukar baju wajah Jayeng Katon berubah menjadi Kanjeng Sepuh. Begitu juga sebaliknya.
Dalam sayembara adu dengan banteng itu Jayeng Katon yang berpakaian kebesaran kabupaten Sidayu dapat mengalahkan banteng. Banteng itu dikeplak menjadi hancur berkeping-keping. Rombangan Kanjeng Sepuh pulang ke Sidayu dengan membawa kemenangan dan perasaan lega.
Atas jasa-jasa Jayeng Katon, Kanjeng Sepuh memberikan beberapa penghargaan atau hadiah kepada Jayeng Katon. Beliau memberikan beslit kepada Jayeng Katon bila keturunan Jayeng Katon menghendaki menjadi seorang naib tinggal menunjukkan berslit tersebut. Kanjeng Sepuh juga memberikan kewenangan penuh kepada Jayeng Katon untuk mengatur pemerintahan wilayah Ujungpangkah.Ujungpangkah dijadikan sebagai tanah merdikan atau semacam otonom di bawah kekuasaan Jayeng Katon, namun masih tetap berada di bawah wilayah kabupaten Sidayu. Disamping itu, Kanjeng Sepuh membangunkan tugu di dua pintu masuk Ujungpangkah.
Setelah peristiwa adu banteng itu, Jayeng Katon hatinya merasa sedih dan perasaan bersalah karena telah membunuh binatang yang tidak bersalah. Untuk mengobati kegundaan hatinya, beliau berkholwat di goa Melirang Bunga selama tujuh hari tujuh malam untuk meminta ampun kepada Allah. Setelah itu, beliau mengembara untuk menyebarkan Islam di nusantara sambil bersilaturrahim ke sanak famili dan para santrinya.
Dalam pengembaraan itu, suatu malam Jayeng Katon bermimpi didatangi banyak orang berpakaian serba putih. Ini merupakan isyarat bahwa umur beliau tidak lama lagi. Beliau bergegas hendak pulang ke Ujungpangkah dengan kuda sembrani kesayangannya. Sampai di desa Siraman Dukun beliau tidak sanggup melakukan perjalanan lagi. Kebetulan di tempat itu ada seorang petani yang sedang menyirami tanaman. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, beliau berpesan bila Allah mengambil ajalnya untuk mengabarkan kepada keluarganya di Ujungpangkah.
Allah menakdirkan Jayeng Katon wafat di desa Siraman. Beliau dikuburkan di desa itu oleh penduduk Siraman. Selama 25 tahun wafat Jayeng Katon penduduk dilanda wabah penyakit atau pageblug. Wabah ini menyadarkan seorang petani yang pernah diwasiati Jayeng Katon. Petani itu menyampaikan wasiat Jayeng Katon sebelum wafat kepada ulama setempat namun, ulama itu tidak percaya begitu saja. Tokoh itu melakukan istikhoro. Hasilnya, membenarkan ucapan petani itu. Jayeng Katon yang sudah terkubur selama 25 itu minta dipindah ke Ujungpangkah.
Kuburan Jayeng Katon digali dan disaksikan Nyai Jika, istrinya, dan kelima putranya serta penduduk setempat. Jasad itu tidak berubah sama sekali. Kain kafan pembungkusnya tidak rusak tetapi masih putih seperti sedia kala. Untuk memastikan kebenarannya, kelima putra Jayeng Katon membuka kain kapannya. Subhanallah, wajah Jayeng Katon seperti orang tidur. Karena jasad beliau masih utuh tatkala dibuka, sejak saat itu Jayeng Katon dijuluki JIWOSUTO..
Kabar pemindahan jasad Syekh Abdul Hamid alias Jayeng Katon alias Jiwosuto didengar oleh keluarga Kanjeng Sepuh Sidayu. Putra Kanjeng Sepuh dan keluarga ikut menghadiri penggalian itu. Ia menyiapkan kain kafan dan keranda untuk jasad Syekh Abdul Hamid. Itu dilakukan berkat jasa-jasa Syekh Abdul Hamid kepada Kanjeng Sepuh. Namun, kain kapan tidak terpakai karena kain kapan pembungkus Syekh Abdul Hamid masih utuh seperti semula. Termasuk keranda yang disiapkan. Karena banyaknya orang yang berebut untuk membawa jasadnya. Jasad itu dibawa dari tangan ke tangan mulai dari desa Siraman Dukun sampai ke Ujungpangkah.
BalasHapusKetika jasad Syekh Abdul Hamid sampai di pertigaan jalan menuju Ujungpangkah, keluarga Kanjeng Sepuh meminta agar jasad Syekh Abdul Hamid dikuburkan di sebelah Kanjeng Sepuh di Sidayu. Setiap kali jasad itu akan dibawa ke arah timur menuju Sidayu, jasad itu seperti menolak. Pembawa jasad itu tidak mampu melangkahkan kakinya ke arah Sidayu, namun tatkala diarahkan ke utara menuju ke Ujungpangkah, pembawa jasad itu seakan-akan berjalan tanpa beban. Kejadian itu berulang-ulang. Atas peristiwa itu keluarga Syekh Abdul Hamid membawa ke Ujungpangkah. Keluarga Kanjeng Sepuh menerimanya dengan lapang dada. Jasad beliau akhirnya dikuburkan di belakang Masjid Jamik Pangkah, sekarang bernama Masjid Jamik Ainul Yaqin Ujungpangkah.
Telah terbit Buku Kisah Rakyat Ujungpangkah Kabupaten Gresik (Keturunan Sunan Bonang Tuban) oleh Masnukhan. Sampul buku warna, 140 halaman, kertas HVS, berisi 20 judul kisah:
1. Azimat Pancapat Pangkah
2. Pangkah Pange Mekkah
3. Masjid Tiban Pangkah
4. Ki Ageng Jumiko
5. Pendil Wesi dan Putri Mesir
6. Jaka Karang Wesi dan Putri Kambunan
7. Jaka Gudik
8. Jaka Cinde
9. Jaka Umbaran
10. Jiwosuto
11. Setro
12. Pengembaraan Jayeng Katon (Putra Sunan Bonang)
13. Ilmu Bledek Kyai Mbesawon
14. Watu Malang Pangkah
15. Satrio Pandawa
16. Dari Pangkah ke Pakah
17. Adipati Jaka Berek Sawonggaling
18. Syekh Syerut Putra Jaka Tarub
19. Sumur Keramat Kyai Jawal
20. Kembange Ringin
Dilengkapi juga dengan tokoh-tokoh yang berjasa dalam perkembangan Islam di Ujungpangkah.
Yang membutuhkan buku tersebut dapat menghubungi Masnukhan , hp 085230223541; 03177058509 atau datang langsung ke alamat: Jalan H. Thoyib 20 RT 1 RW 8 Pangkahwetan Ujungpangkah Gresik (Timur Masjid Jamik Ainul Yaqin Ujungpangkah Gresik)